PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh pada hakikatnya merupakan alat metodologi untuk menggali
fiqih/hukum islam dari syariah yang berupa teks/firman Allah SWT dan hadis Nabi
Muhammad SAW. Adapun kaidah fiqih adalah kumpulan atau paket-paket kemasan
hasil produksi para mujtahid dalam bentuk hukum islam yang dikelompokan menurut
jenis dan kesamaanya.
Dengan menggunakan analogi ishul fiqih sebagai bagian dari proses
produksi, sulit membayangkan suatu produk dapat dihasilkan, tanpa alat\mesin
produksi yang menghasilkan suatu produk, dimana ushul fiqih berperan sebagai
mesin produk tersebut. Karena itu secara metodologis dapat dikatakan, seseorang
dapat dikatakan ahli hukum islam (fuqoha), apabila menguasai ilmu ushul fiqih.
Sebaliknya, orang yang hanya mengetahui ilmu fiqih tanpa mengetahui ushul
fiqih, dapat mudah keliru dan salah dalam menerapkan pengetahuanya pada
kasus-kasuh hukum yang dihadapkan kepadanya. Sebab, pengetahuan fiqhnyha itu
hanya berdasarkan hafalan saja, tanpa landasan yang kokoh dan pemahaman yang
mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum islam.
Dalam terjemahan kami kami mencoba menerjemahkan hasil karya ilmiah
dosen kami yang membahas tentang ijma’ yang mana sudah kita ketahui bahwa ijma’
adalah salah sebagian dari strategi ushul fiqih untuk menentukan suatu hukum.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Ijma’ ?
2.
Apa
Saja Macam-macam ijma’ ?
3.
Bagaimana
Kedudukan Ijma’ Sebagai hujjah ?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
pengertian dari Ijma’.
2.
Mengetahui
Macam-Macam Ijma’.
3.
Memahami
Tentang Kedudukan Ijma’ Sebagai Hujjah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijma’
Ijma’ merupakan
sumber kuat dalam menetapkan hukum-hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga
dalam urutan sumber hukum islam. Ijma’
menurut bahasa di ungkapkan untuk salah satu dari dua makna yaitu
Makna Pertama Adalah العزم
(Menyengaja) dan تصمىم (diam) terhadp sesuatu hal , ini bukti bahwa
ada ungkapan “fulan menyengaja terhadap sesuatu” yakni fulan menyengaja
terhadap sesuatu tersebut. Bukti lain yang menunjukan ialah fiman Allah SWT :
فاجمعوا امركم
وشركائكم
Artinya:
karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkan lah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku) (Q.S. yunus ayat 71 (yakni menyengajalah)
Dan hadis Nabi Muhammad SAW :
لاصيام لمن لم
يجمع الصيام من اليل (روه ابو داود)
Artinya:
Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada
malam hari.
Makna yang Kedua Adalah الاتفاق (Sepakat) yakni terbukti bahwa ada ungkapan
“ اجمع القوم على كداsekelompok orang sepakat terhadap hal ini ” yakni mereka menyepakatinya, maka hal ini juga butuh terhadap
makna تصمىم
atau diam.
Perbedaan dari keduanya bahwa makna yang pertama diungkapkan
terhadap kesengajaan satu orang, sedangkan makna yang kedua harus berbilang atau
kelompok.
Ijma’ menurut jumhur ulama ialah kesepakatan semua para mujtahid
terhadap hukum syar’i terhadap suatu kasus dalam satu masa setelah meninggalnya
Rosulullah SAW . ungkapan “setelah meninggalnya Rosulullah” pada definisi diatas ini dikarenakan pada
masa hidupnya Rasulullah SAW, beliaulah satu-satunya tempat rujukan
syari’at. Maka dari itu didak ada
ikhtilaf atau perbedaan hukum
syari’at dan tidak ada kesepakatan.
Dikarenakan kesepakatan itu sendiri tidak akan terbentuk kecuali dari kelompok.
Ketika terjadi suatu permasalahan atau kasus yang timbul dan
diserahkan kepada semua mujtahid, mereka sepakat terhadap suatu hukum dalam
kasus itu, maka kesepakatanya dinamakan ijma’. Contohnya adalah:
1.
para
sahabat sepakat dengan kepemimpinan Abu bakar As-Sidiq dengan mengqiyaskan pada mendahululanya untuk
menjadi imam sholat dihari ketika Rosulullah SAW Sedang sakit.
فقد روى ان
الصحابة قالوا : رضيه السول الله لديننا افلا نرضاه لدنيانا
1.
Diriwayatkan
bahwa para sahabat mengatakan : Rosulullah SAW meridhoi Abu bakar As-sidiq
untuk agama kami, apakah kami tidak meridhoinya Abu Bakar As-sidiq bagi dunia
kami.
2.
kesepakatan
terdap haramnya lemak babi dengan mengqiyaskan pada keharaman dagingnya.
3.
kesepakatan
terhadap pembuangan minyak simsim ataupul lainya yang telah kejatuhan tikus
yang mana tikus itu mati didalamnya, dengan mengqiyaskan dengan minyak samin.
4.
kesepakatan
terhadap bagian untuk nenek dengan mengqiyaskan terhadap
bagian ibu.
5.
kesepakatan
terhadap pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-sidiq karna menimbang
kemaslahatan untuk umat.
6.
kesepakatan
terhadap hukum tidak ada pembagian bumi\tanah yang telah di taklukan bagi para
Ghanimin pada masa Umar Bin Khattab Menimbang kemaslahan untuk umat.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a.
Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an.
b.
Memiliki
pengetahuan tentang Sunnah.
c.
Memiliki
pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
d.
Memiliki pengetahuan tentang ushul
fikih.
e.
Menguasai ilmu
bahasa.
C. Rukun-Rukun Ijma’
Ijma’ tidak akan terbentuk atau terwujud
kecuali jika sempurna Rukun-Rukunya, rukun-rukun ijma’ adalah:
1. ditemukanya sekelompok mujtahid pada satu
masa yang terjadi kasus atau permasalahan, dikarenakan kesepakatan tidak akan
muncul kecuali dari berbagai pendapat yang sama. Jika tidak ditemukan seorang
mujtahid di jaman itu atau hanya ditemukan satu saja, maka tidak akan terbentuk
ijma’ secara syar’i. Oleh karena itu tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah SAW
dikarenakan beliau satu-satunya mujtahid.
2. semua mujtahid sepakat terhadap hukum syar’i
pada kasus diwaktu munculnya suatu kasus tanpa memandang daerah, bangsa, atau
kelompoknya. Jika terjadi kesepakatan para mujtahid tanah hijaj saja atau
mujtahid tanah irak saja atau daerah mesir saja, maka hal itu bukan dinamakan
ijma’ dikarenakan ijma’ tidak akan terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum
dari semua negara-negara islam pada masa yang baru.
3. kesepakatan para mujtahid dengan memunculkan
pendapat-pendapatnya harus jelas, baik berupa qoul atau berupa fi’lu. Ataupun berpendapat sendiri-sendiri dan setelah munculnya beberapa pendapat maka
tampak jelas bahwa mereka semua sepakat. Atau mereka semua memunculkan pendapat
dengan sepakat. Yakni semua mujtahid seluruh negara islam sepakat pada satu
masa munculnya kasus yang diserahkan pada seluruh mujtahid dan setelah tampak
jelas pemikiran-pemikiran mereka, mereka sepakat terhadap satu hukum
didalamnya.
4. munculnya kesepakatan tersebut dari semua
mujtahid, jika mayoritas mujtahid saja yang sepakat, maka bukan dikatakan ijma’
selama masih ada yang berbeda pendapat, dikarenakan selama masih ditemukan
perbedaan pendapat maka kebenaran pun masih simpang siur mana pendapat yang
benar, mana pendapat yang salah.
D. Macam-macam ijma’
Macam-macam ijma’ dilihat dari sisi
terbentuknya ada duam macam.
1. ijma sharih
Ijma’
sharih adalah kesepakatan mujtahid terhadap hukum suatu kasus dengan
memunculkan pendapat yang jelas, baik berupa fatwa atau qodo’. Yakni setiap
mujtahid mengeluarkan pendapat atau fi’lu yang dianggap jelas.
Ijma bagian ini adalah ijma’ hakiki dan
merupakan hujjah syar’iyah. Menurut jumhur ulama (As-Syafi’i, Maliki, dan
sebagian ulama Hanafiah) dan tidak boleh menentang apa apa yang telah disepakatinya,
dikarenakan ijma’ ini adalah hujjah qot’iah.
2. ijma’ Sukuti
Ijma
sukuti adalah sebagian mejtahid menampilkan pendapat-pendapatnya dengan jelas.
Baik berupa fatwa atau qodo’ sementara sebagian yang lain diam. Entah mereka
sepakat atau tidak terhadap mujtahid yang menampilkan pendapat.
Ijma sukuti ini dinamakan ijma’ i’tibari,
kebanyakan para ulama ushul ijma ini bisa dikatakan hujjah. Sementara jumhur
ulama mengatakan ijma sukuti ini bukan merupakan hujjah, dan ijma’ sukuti ini
masih dalam lingkup kesepakatan sebagian mujtahid, tidak semuanya.
E. Ijma’ ditinjau dari segi macam-macamnya
1.
Ijma’ Al-Madinah (kesepakatan masyarakat
Madinah)
Pendapat ini di kemukakan oleh imam malik.
Menurutnya ijma’ ini merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh kalangan
sahabat atau taiin yang berada dikota Madinah. Apabila kesepakatan telah
melewati dua masa tersebut, maka ia tidak lagi disebut ijma yang menjadu
hujjah. Ijma’ ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang
telah diijma’i oleh ulama Madinah, wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’
mereka dijadikan hujjah, wajib diamalkan.
2.
Ijma Al-Haramain ( kesepakatan masyarakat Mekah
Dan Madinah)
Pendapat ini berangkat dari keyakinan bahwa
ijma’ hanya terbentuk pada masa sahabat, sementara Mekah dan Madinah adalah dua
wilayah yang banyak didiami para sahabat, maka kesepakatan yang lahir dari
kedua wilayah tersebut tentu menjadi hujjah.
3.
Ijma’ Ahl Ai-Mishrain (kesepakatan masyarakat
dua kota bashrah dan kuffah)
Sama dengan ijma’ al haramain, mereka
berpendapat bahwa ijma’ ini merupakan hujjah, mengemukakan alasan bahwa kedua
kota ini merupakan konsentrasi domisili para sahabat rasulullah saw.
4.
Ijma’ Asy-Syaikhan/Ijma’ Al-Khalifatain (
kesepakatan dua khalifah(khalifah Abu bakar As-siddiq dan khalifah Umar Bin
Khattab))
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama berdasarkan
Hadis Nabi:
عن حذيفة ان
النبي صلى الله عليه وسلم قال اقتدوا باللذين من بعدي ابي بكر وعمر
Dari Huzaifah Bahwa Nabi Muhammad SAW Bersabda
“ turutilah dua orang setelah (wafat) ku; Abu Bakr dan Umar”.
5.
Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah/al-Khulafa ar-Rasyidin
(kesepakatan khalifah Empat)
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama hanafiyyah
yang bernapa al-Qodhi Abi Hazim, dan menurut satu riwayat juga oleh ahmad bin
Hanbal. Mereka berpendapat berbeda dengan sahabat lainya, kesepakatan diantara
khalifah empat; Abu bakar, Umar, Usman dan Ali merupakan Hujjah. pendapat ini
pun mengutip dari hadis Rasulullah SAW.
6.
Ijma’ al-‘Itrah (kesepakatan Ahl-Bayt/Keluarga
Nabi Muhammad SAW)
Pendapat ini dikemukakan oleh golongan syiah
al-imamiyyah dan az-Zaidiyyah. Mereka mengatakan, kesepakatan keluarga nabi
(Ali,Fatimah, dan kedua anak mereka; Hasan dan Husain) merupakan hujjah.dalil
Al-qur’an yang mereka kemukakan ialah Surat al-Ahzab (33):33.
F. Peran ijma’ sebagai hujjah
Jika rukun-rukun ijma terpenuhi maka maka hukumnya
telah disepakati menjadi undang-undang syar’i yang wajib ditaati, tidak boleh
menentangnya. Dan bagi para mujtahid dimasa selanjutnya tidak boleh menjadikan
kasus yang telah disepakati hukumnya sebagai tempat ijtihad. Karena ketetapan
hukum dengan jalan ijma’ pada kasus tersebut merupakan hukum syar’i yang qoti’
tidak ada ruang untuk menentangnya atau menghapusnya.
1. Dalil Naqli
a. Allah telah memerintahkan Orang mukmin untuk
mentaati-Nya, Rasul-Nya, dan Ulil Amri.
Allah SWT berfirman Dalam surat An-Nisa ayat 59
يا ايهاا لدين
امنوا اطيعواالله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم (النساء: 59)
Lafadz (
الامر ) pada ayat tersebut maknanya adalah ( الشان ) dan menunjukan makna umum yang memuat
keadaan atau perkara agama dan perkara-perkara dunia. Ulil amri ferkara dunia
adalah mereka para pemimpin , sedangkan ulil amri ferkara akhirat adalah para
mujtahid dan ahli fatwa. Ketika para mujtahid sepakat terhadap pencetusan suatu
hukum, maka wajib mengikutinya dan pengesahan
hukum para mujtahid itu dengan dalil-dalil Al-qur’an.
b. Firman Allah SWT dalam Surat An-nisa Ayat
115:
ومن يشاقق
الرسول من بعدما تبين له الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولئ ونصله جهنم
وساءت مصيرا (النساء : 115)
Artinya:
Barang
siapa yang menentang Rasulullah SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang0orang mukmin kami biarkan ia leluasa
dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.
Indikasi ayat tersebut bahwa Allah SAW
mengencam bagi orang-orang yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin
dengan ancaman azab yang sangat pedih. Maka firman Allah SAW tersebut merupakan dalil bahwa mengikuti
jalan selain orang-orang mukmin itu haram hukumnya. Jika memang hukumnya tidak
ada keharaman maka Allah SWT tidak akan mengancamnya.
C. Hadist Rasulullah SAW yang menunjukan
terjaganya umat dari Kesalahan
قول الرسول :
لايجتمع امتى على الخطاء
Umatku tidak akan sepakat terhadap kesalahan.
وقوله ص م لايجتمع امتى على الضلالة
Umatku tidak akan sepakat atas suatu kesalahan.
Dilihat dari segi dholalah, hadis tersebut juga
mencapai derajat qithi’ dalam menunjukan pengertian wajib mengikuti ijma’.
Dengan demikian dapat ditinjau dari segi jalur periwayatan atau sanad maupun
susunan redaksi nya, hadis hadis diatas merupakan nash yang qothi’ dalam kewajiban mengikuti ijma’.
وقوله ص م
يدالله مع الجماعة
Kekuasaan ALLAH SWT beserta jamaah. Dan hadis
Rasulullah SAW.
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya :
“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.
Indikasi hadis-hadis diatas ialah behwa hukum
yang telah disepakati oleh para mujtahid pada hakikatnya merupakan hukum umat
yang telah disepakati oleh umat islam yang terwakili oleh para mujtahid.
Hadis-hadis diatas menunjukan pada ketetapan ijma’ sebagai Hujjah.
2. Dalil Aqli
Bahwa tidak logis secara umum, apakah mungkin
para mujtahid sepakat tanpa bersumber atau berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Begitu juga mungkinkah mereka semua salah dalam kesepakatanya tanpa ada satupun
yang mengingatkanya. Maka dari itau konsensus para mujtahid yang telah
disepakati itu memang benar dan berlandaskan pada dalil dan merupakan tuntutan
wajib maengamalkanya.
Derajat ijma’ sebagai hujjah, maka ketika ijma’
sudah terbentuk maka merupakan hujjah qot’iah yang wajib diamalkan dan haram
berbeda denganya. Barang siapa mengingkarinya termasuk orang kufur, yakni bisa
dengan mengucapkan ‘’ Ijma’ Bukan merupakan Hujjah”.
Hukum masalah yang telah disepakati itu menjadi
qoti’, tidak diperbolehkan setelahnya menjadikan tempat perkhilafan. bagi
mujtahid pada masa selanjutnya tidak boleh menjadikan masalah tersebut sebagai
bahan atau tempat berijtihad. Karena ketetapan hukum dalam jalan ijma’ merupakan
hukum syar’i yang qoti’ dan tidak ada ruang utuk berbeda atau menghapusnya.
Kedudukan ijma’ menjadi hujah ini menempati urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan
Hadist.
G. Kemungkinan Terbentuknya Hujjah
1. Ulama berpendapat (Mu’tajilah, Syiah,
Khawarij) bahwa ijma’ yang sempurna
rukun-rukunya tidak mungkin terbentuk dikarenakan sangat sulit untuk memenuhi
rukun-rukunya. Hal ini dikarenakan tidak bisa ditemukan Alat ukur untuk
mengetahui siapa yang sudah mencapai derajat mujtahid atau belum. Andaikan dipastikan
bahwa semua mujtahid diseluruh alam islam dapat diketahui keberadaanya ketika
timbul kasus, sementara untuk mengetahui pendapat mereka semua dengan jalan
yang bisa menimbulkan keyakinan atau mendekati keyakinan itu sangat sulit
sekali, dikarenakan mujtahid itu terpisah diseluruh benua yang berbeda-beda dan
dinegara yang saling berjauhan.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma mungkin
bisa terbentuk dan bahkan secara nyata telah terjadi. Sebagian ijma’ yang telah
terjadi ialah ijma’ terhadap kepemimpinan Abu Bakar As-sidiq, keharaman lemak
babi, nenek mendapatkan , terhijabnya cucu laki-laki dari anak
laki-laki oleh anak laki-laki dan lain-lain. Yakni berupa hukum-hukum juziyah
dan kuliyah.
3. dari pengumpulan dan penyesuaian diantara
beberapa pendapat maka dapat disimpulkan ijma’ dengan definisi dan
rukun-rukunya tidak mungkin terbentuk secara adat pada masa sekarang ini,
ketika ferkaranya dipasrahkan kepada umat-umat islam dan golongan umat-umat
islam. Akan tetapi ijma’ bisa terbentuk jika kepemerinahan islam menguasai
perkaranya. Maka
setiap kepemerintahan mampu untuk menentukan syarat-syarat mujtahid dan
kriteria seseorang terhadap derajat ijtihad bagi orang-orang yang telah
sempurna syarat-syarat ijtihadnya. Maka dari itu kepemerintahan mampu untuk mengetahui
mujtahid dan pendapat mereka pada tanda-tanda kasus.
Jika kepemerintahan telah mengetahui pendapat
para mujtahid pada suatu kasus dan pendapat para mujtahid pada suatu kasus dan
pendapat para mujtahid sepakat pada setiap kepemerintahan islam terhadap satu
hukum, maka hal tersebut dinamakan ijma’. Dan hukum yang telah disepakati
merupakan hukum syar’i yang wajib diikuti oleh seluruh umat islam.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan
Ijma’ menurut jumhur ulama ialah kesepakatan semua para mujtahid
terhadap hukum syar’i terhadap suatu kasus dalam satu masa setelah meninggalnya
Rosulullah SAW . ungkapan “setelah meninggalnya Rosulullah” pada definisi diatas ini dikarenakan pada
masa hidupnya Rasulullah SAW, beliaulah satu-satunya tempat rujukan
syari’at. Maka dari itu didak ada
ikhtilaf atau perbedaan hukum
syari’at dan tidak ada kesepakatan.
Dikarenakan kesepakatan itu sendiri tidak akan terbentuk kecuali dari kelompok.
Ijma’ terbagi menjadi dua:
1. Ijma’ Shorekh
2. Ijma’ Sukuti
Jika rukun-rukun ijma terpenuhi maka maka
hukumnya telah disepakati menjadi undang-undang syar’i yang wajib ditaati,
tidak boleh menentangnya. Dan bagi para mujtahid dimasa selanjutnya tidak boleh
menjadikan kasus yang telah disepakati hukumnya sebagai tempat ijtihad. Karena
ketetapan hukum dengan jalan ijma’ pada kasus tersebut merupakan hukum syar’i
yang qoti’ tidak ada ruang untuk menentangnya atau menghapusnya.
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi,Ttp:Dar Al-fikr/Dar ihya
At-Turats Al-Arabi,1983 hadis no 2092